IP

Calender

The Great Queen Seon Deok

A.W.$urveys

Senin, November 30, 2009

Membangun Jiwa Kewirausahaan Pemuda

Jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) bisa ditanamkan oleh para orangtua ketika anak-anak mereka dalam usia dini. Kewirausahaan lebih kepada menggerakkan perubahan mental. Jadi tak perlu dipertentangkan apakah kemampuan wirausaha itu berkat adanya bakat atau hasil pendidikan. Demikian salah satu kesimpulan yang terungkap dalam "Parenting Seminar" yang diselenggarakan Universitas Paramadina, di Jakarta, belum lama ini.


Sebagai pembicara dalam seminar tersebut adalah CEO PT Graha Layar Prima Ananda Siregar, pakar kepribadian sekaligus Presiden Direktur Lembaga Pendidikan Duta Bangsa Mien R. Uno, dan Presiden Direktur Kiroyan Kuhon Partners/PT Komunikasi Kinerja, Noke Kiroyan.
Mien Uno mengatakan bahwa untuk menjadi wirausahawan andal dibutuhkan sebuah karakter unggul. Yaitu, antara lain, pengenalan terhadap diri sendiri (self awareness), kreatif, mampu berpikir kritis, mampu memecahkan permasalahan (problem solving), dan dapat berkomunikasi, menghargai waktu (time orientation), bisa mengendalikan emosi, dan mampu membuat keputusan.
Karakter tersebut akan terbentuk melalui sebuah proses yang panjang. Dalam proses ini, orangtua anak perlu mengambil peranan. Orangtua perlu menyupervisi anak dengan memberi contoh yang baik dan menjaga agar ucapannya sama dengan tindakan. Selain itu, orangtua ikut memotivasi anak, mengevaluasi, dan memberikan apresiasi atas prestasi anak.
Membangun jiwa kewirausahaan memang sangat penting, lebih-lebih dengan meningkatnya angka pengangguran terdidik. Kriteria pengangguran terdidik adalah para lulusan perguruan tinggi, baik D-1,D-2,D-3,S-1,S-2 maupun S-3 yang belum mendapatkan pekerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2007, jika pengangguran terdidik mencapai 6,16% atau 673.628 orang pada Agustus 2006, jumlah tersebut naik menjadi 7,02% atau 740.206 orang pada Februari 2007.
Bagi sebagian orang, pendidikan bisa menjadi faktor pendorong kesuksesan untuk berwirausaha atau sebaliknya. Seseorang memang tidak perlu berpredikat sarjana untuk menjadi pengusaha, tetapi dengan latar belakang pendidikan akademik, berarti akan banyak kesempatan terbuka karena lebih luas wawasannya dalam melihat berbagai peluang bisnis yang ada.
Masalah pokok dalam membangun jiwa kewirausahaan adalah kurangnya kesadaran akan arti penting dan urgensinya menjadi pemuda yang mandiri dan berwirausaha. Kini masih banyak pemuda dari organisasi kepemudaan yang lebih berorientasi kepada pergerakan politik dan kekuasaan karena mereka cenderung memilih cara instan untuk menjadi terkenal dan politisi andal, tetapi dari aspek ekonomi mereka jauh tertinggal.
Jadi, tahap awal yang harus dibangun dalam memberdayakan pemuda adalah membangun jiwa pemuda yang mandiri dan menanamkan semangat hidup berwirausaha agar kemandirian mudah dibangun. Konsepnya, pendidikan bukan sekadar mencetak generasi terampil serta memiliki kompetensi tinggi, tetapi juga harus mampu mencetak generasi dengan jiwa wirausaha. Meminjam konsep Peter Drucker dalam buku Post-Capitalist, konsep manusia terdidik tidak hanya siap dalam gagasan menerabas, melainkan juga manajer dengan pusat perhatian pekerja.
Ikon bahwa sekolah hanya mencari ilmu, lantas mencari pekerjaan, harus diubah menjadi "mencari ilmu dan mengaplikasikannya di lapangan". Dengan demikian, pendidikan nasional harus mampu membawa generasi terdidik untuk menciptakan pekerjaan.
Pendidikan kewirausahaan sebenarnya tidak harus dimasukkan dalam kurikulum, sebab bisa menjadi pelajaran ekstrakurikuler. Dalam hal ini, kepala sekolah dasar (SD) bebas menentukan jenis pendidikan kewirausahaan yang cocok untuk dipelajari para muridnya. Masing-masing SD bisa saja memiliki perbedaan dalam memilih jenis pendidikan kewirausahaan yang perlu diajarkan, karena latar belakang sosial ekonomi mereka juga berbeda.
Pendidikan jiwa kewirausahaan harus menonjolkan pengetahuan praktis mengenai dasar-dasar kewirausahaan yang meliputi kegiatan produksi dan marketing. Acuan rujukan bahan bisa diambil dari skripsi-skripsi atau karya tulis sekolah menengah umum (SMU), kemudian disusun secara sederhana oleh guru SD yang bersangkutan.
Materi pelajaran yang sederhana mudah diserap murid-murid SD, juga bisa dipraktikkan bersama di sekolah saat mengisi jam-jam pelajaran kosong pasca-ujian. Dengan demikian, murid-murid SD bisa lebih memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masa depannya.
Pendidikan kewirausahaan yang diajarkan sejak SD bisa mengubah tipe pendidikan nasional kita yang sudah telanjur menjadi birokrasi minded karena melulu difokuskan untuk mencetak generasi baru yang hanya untuk mengisi kantor-kantor saja.
Dengan fakta angka pengangguran terdidik yang makin melonjak dari tahun ke tahun, kini tipe pendidikan birokrasi minded tidak layak dibiarkan terus-menerus. Sekarang saatnya anak-anak sejak SD diajari untuk mengenal berbagai jenis kewirausahaan, sebagai alternatif menghadapi masa depan di luar cita-cita menjadi pegawai kantor.
Mental priyayi sebagai konsekuensi dari birokrasi minded, yang selama ini menjadi tipe pendidikan nasional kita, harus mulai dihapus. Sebab, fakta menunjukkan, lowongan pekerjaan di kantor selalu terbatas. Sebaliknya, peluang kerja di luar kantor terbuka lebar untuk semua generasi.
Jika pendidikan nasional dibiarkan bertipe birokrasi minded, dikhawatirkan hanya akan menambah angka pengangguran terdidik dari tahun ke tahun. Masih terlalu banyak lulusan perguruan tinggi yang bermental priyayi, sehingga tidak bersedia merintis usaha kecil dan memilih menganggur sambil mondar-mandir keluar masuk kantor menawarkan surat lamaran kerja yang dilampiri ijazah sarjananya.
Kendala utama untuk mengajarkan pendidikan kewirausahaan di sekolah terletak pada guru-guru di sekolah. Karena itu perlu poltical will dari pemerintah dalam bentuk instruksi resmi dari otoritas pendidikan (Depdiknas) kepada kepala-kepala sekolah agar mengajarkan pendidikan kewirausahaan.



Penulis adalah alumnus Australian National University.

0 komentar: